Kemerdekaan
Republik Indonesia yang diperingati tiap tanggal 17 Agustus merupakan momentum
puncak dari sebuah sejarah perjuangan yang dilakukan oleh pendiri bangsa ini.
Kesadaran
nasionalisme yang seiring dengan memuncaknya penderitaan rakyat atas penjajah mengantarkan
bangsa ini menuju kemerdekaan yang dirahmati oleh Allah Yang Maha Kuasa. Hal
itulah yang dirumuskan dalam Piagam Djakarta, -yang dikenal sebagai Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945, yang termaktub pada alinea pertama, kedua, dan ketiga.
Alinea
keempat, yang notabenenya adalah landasan ideology bangsa Indonesia, yaitu Pancasila,
merupakan rangkaian dari cita – cita luhur bangsa ini yang tercantum secara nyata
dalam konteks konstitusional. Hal yang begitu mendasar dari terwujudnya kemerdekaan
yang dirumuskan oleh para pendiri bangsa ini, yaitu ingin mencerdaskan kehidupan
bangsa dan turut serta melaksanakan ketertiban dunia.
Realitas mencerdaskan kehidupan bangsa
Kecerdasan
hidup suatu bangsa dapat dilihat melalui pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya
alam yang dimiliki. Apabila pengelolaan dilakukan secara maksimal serta sumber daya
alam dimanfaatkan sebijak mungkin, niscaya kesejahteraan social akan tercapai.
Hal ini sejalan dengan sila ke-5, Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Namun
pada hari ini, 69 tahun pasca kemerdekaan, Indonesia belum mampu mengelola ataupun
memanfaatkan sumber daya alam sebijak mungkin. Pengelolaan sumber daya alam,
semisal tambang, mayoritas dilakukan oleh pihak asing. Begitu pula
pemanfaatannya yang dilakukan secara barbar, yang berakibat pula pada satu isu
global, yaitu kerusakan lingkungan.
Sejak
Presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno, yang merupakan salah satu pendiri
bangsa ini dilengserkan, tiada lagi terdengar tindakan nyata nasionalisasi perusahaan
asing. Ironisnya beberapa BUMN pun sahamnya tak lagi 100% dipegang oleh negara.
Lalu kapan kalimat terakhir dari alinea terakhir Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945 akan terwujud (…serta dengan mewujudkan
suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia) ?
Permasalahan
ini dapat dirujuk pada system pendidikan yang diterapkan pemerintah di sekolah –sekolah
sebagai lembaga pembelajaran formal yang merupakan tempat penginputan pola
piker ataupun pembentukan karakter seseorang. Tetapi pada kenyataannya program
wajib belajar Sembilan tahun (SD sederajat – SMP sederajat) yang diharapkan dapat
mengoptimalkan cita-cita luhur bangsa ini seakan hanya batu besar yang seberat busa.
Karena faktanya, lapangan pekerjaan yang tersedia memberikan standar pendidikan
yang berada jauh lebih tinggi dari program pemerintah.
Kontribusi
penuh yang diharapkan dari sebuah pendidikan tampaknya jauh dari harapan.
Pemberitaan tentang geng motor yang meresahkan yang didominasi oleh para remaja
masih menjadi momok menakutkan bagi masyarakat. Begitu pula dengan kasus pelecehan
seksual yang yang mayoritas terjadi di lingkungan pendidikan merupakan bentuk nyata
dari sebuah kebobokran pendidikan. Pemerintah harus segera meninjau ulang
system pendidikan untuk pengaplikasian selanjutnya atau secara keseluruhan direvisi
dan direkontruksi ulang untuk mewujudkan cita-cita luhur bangsa ini,
mencerdaskan kehidupan bangsa.
Perwujudan perdamaian abadi
Sejak
dahulu, Indonesia menganut sistem politik luar negeri bebas aktif yang
mencerminkan jati diri bangsa yang mandiri dan turut serta dalam menjaga perdamaian
dunia. Dunia internasional kini panas dengan beberapa konflik antarnegara, Rusia-Ukraina,
Palestina-Israel, serta berita yang masih mejadi hot topic beberapa media
massa, yaitu berdirinya Negara Islam di Irak dan Suriah yaitu ISIS (Islamic State of Iraq And Sham). PBB
sebgai otoritas tertinggi yang bertugas dalam mewujudkan perdamaian abadi seakan
tidak berkutik atas semua peristiwa yang terjadi, terutama untuk kasus Palestina-Israel.
Beberapa agenda perdamaian yang coba dilakukan melalui mediasi dari negara Mesir
pun berkali-kali dilakukan namun berkali-kali pula gagal.
Berkaca
pada tahun 1955, saat Indonesia mencatat sejarah emas sebagai tuan rumah serta pelaksana
Konfrensi Asia-Afrika. Saat itu Indonesia menjadi sebuah kiblat perjuangan bangsa-bangsa
terjajah untuk memperoleh kemerdekaannya.
Permasalahan
Palestina-Israel yang tak kunjung usai perlu dilakukan sebuah tindakan nyata,
seperti pula halnya Mesir, mengapa Indonesia tidak mencoba menjadi mediator
perdamaian kedua negara, sebagai wujud dalam sistem politik luar negeri yang
mengerucut pada terwujudnya perdamaian abadi. Bukankah bangsa ini tidak menganut
paham individualism dan egoism sebagai sebuah negara yang ingin menciptakan perdamaian
abadi.
Kesejahteraan sosial
Tak
dapat dipungkiri bahwa, Indonesia masih tertatih dalam upaya mewujudkan cita-cita
luhur bangsa ini. Berbagai persoalan, sebagaimana beberapa yang telah diungkapkan
masih saja menjadi batu penghalang menuju sebuah negara yang sejahtera.
Richard
Quinney, dalam The Prothetic of Modern
Walfare State (1999) mendifinisikan empat pilar sebagai konsep negara
sejahtera. Pertama adalah social lcitizenship,
bahwa sebuah negara ketika menginginkan kesejahteraan maka relasi social dalam masyarakat
harus dibangun dengan kedekatan kenegaraan, kebangsaan sebaik mungkin. Kedua, full democrazy, aturan negara, kedudukan
pemerintah dan masyarakat harus terjalin secara demokratis, tidak adanya partikular.
Ketiga modern relation system, bahwa suatu
Negara berkembang dalam mengantarkan masa depannya harus menerapkan sistem
modern sebagai salah satu transtool kemajuan
dan dapat difungsikan dengan tujuan kesejahteraan. Keempat, righ to education and the expansion of
modern mass education system, pembelajaran yang tepat dan berani mecoba menerapkan
sistem atau pola belajar masyarakat modern, bagaimana diterapkan dengan pengimbangan
sumber daya manusia dan sumber daya alam yang ada sehingga tercipta sebuah keseimbangan.
Cita-cita
luhur bangsa ini sebagai warisan masa lalu menjadi sebuah kontemplasi dalam mewujudkannya
di masa sekarang. Kesejahteraan yang masih jauh dari sebuah harapan bukan sesuatu
yang nisbi bila semua elemen bangsa secara sadar dan nyata turut serta dalam pelaksanaan
konstitusi. Bangsa ini bukanlah bangsa kacang-kacangan yang baru kemarin membacakan
teks proklamsinya, melainkan bangsa yang memiliki sejarah besar dalam mengubah pandangan
dunia Internasional yang melawan dan menentang penindasan manusia atas manusia,
secara lantang berteriak lawan, dan secara nyata mampu turut serta dalam dunia mewujudkan
perdamaian abadi.
Inilah
salah satu momentum penting merenungkan bersama bahwa seberapa jauh jiwa nasionalisme
kita dalam memahami konstitusi secara global dan mewujudkannya sebagai mandat dari
leluhur kita. Sudah 69 tahun kita terlena dalam euforia kemerdekaan, namun pemaknaan
dari kemerdekaan itu sendiri jauh dari niat suci dan luhur para pendiri bangsa ini.
Mari merenungkannya.
Penulis : Hardiansyah Abdi Gunawan/50500113029/Jur A
Post : Nurrahmah SF
Assalamu Alaikum wr-wb, perkenalkan nama saya ibu Rosnida zainab asal Kalimantan Timur, saya ingin mempublikasikan KISAH KESUKSESAN saya menjadi seorang PNS. saya ingin berbagi kesuksesan keseluruh pegawai honorer di instansi pemerintahan manapun, saya mengabdikan diri sebagai guru disebuah desa terpencil, dan disini daerah tempat mengajar hanya dialiri listrik tenaga surya, saya melakukan ini demi kepentingan anak murid saya yang ingin menggapai cita-cita, Sudah 9 tahun saya jadi tenaga honor belum diangkat jadi PNS Bahkan saya sudah 4 kali mengikuti ujian, dan membayar 70 jt namun hailnya nol uang pun tidak kembali bahkan saya sempat putus asah, pada suatu hari sekolah tempat saya mengajar mendapat tamu istimewa dari salah seorang pejabat tinggi dari kantor BKN pusat karena saya sendiri mendapat penghargaan pengawai honorer teladan, disinilah awal perkenalan saya dengan beliau, dan secara kebetulan beliau menitipkan nomor hp pribadinya 0853-1144-2258 atas nama Drs Tauchid SH.MSI beliaulah yang selama ini membantu perjalan karir saya menjadi PEGAWAI NEGERI SIPIL. alhamdulillah berkat bantuan bapak Drs Tauchid SH.MSI SK saya dan 2 teman saya sudah keluar, Wassalamu Alaikum Wr Wr
BalasHapus