Label

Rabu, 13 Januari 2016

Jurnalisme Bencana, "Anugerah" Media

Harian Kompas edisi Februari 2015 hal 9, karya Ahmad Arif dengan trend pemberitaan bencana hanya berorientasi mengejar sensasi, media segera akan melupakan korban bencana begitu "drama-nya" dianggap tak lagi laris, media massa seolah menjelma jadi burung nazar yang mengintai kematian, menguliti habis korban, lalu mencari korban baru.   

Bencana alam merupakan peristiwa yang sangat penting dalam pemberitaan, yang mengharuskan wartawan terjun langsung ke tempat kejadian sebagai pengamat pertama. Namun media massa selama ini di anggap lebih kerap memotret bencana setelah terjadi dengan pendekatan bad news is good news. Semakin “dramatis” kepedihan korban, tayangan akan semakin menarik untuk diberitakan. Bisa kita jumpai diberbagai media, bencana alam atau peristiwa yang mengenaskan dijadikan headline pemberitaan, dengan mengacu pada nilai berita yang aktual. Jarang pula dijumpai berita si miskin yang berprestasi jadi headline.

Semakin banyak bencana, kematian, darah, perang, dan air mata dianggap kian dramatis dan menarik diberitakan. Lain halnya dalam karya Budi Setiono dan Andreas Harsono, dalam buku Jurnalisme Sastrawi bisa di dapati tulisan Erianto mengenai koran, bisnis, dan perang. Sangat jelas konflik di Maluku memengaruhi pemberitaan dan bisnis media, seolah media kembali mengambil keuntungan pada peristiwa ini, bahkan ini dijadikan sebuah akar bisnis media, dalam konflik yang melibatkan agama Kristiani dan Islam, sehingga dibuatlah perusahaan media baru yang dianggap bisa membantu meredam konflik. Perusahaan tersebut di tempatkan di wilayah Muslim dan perusahaan yang sebelumnya berada di kawasan Kristiani. Pemecahan media ini berawal dari sulitnya wartawan memasuki daerah beda keyakinan, namun pada akhirnya kedua perusahaan media ini muncul adanya keberpihakan dan berdampak pada pemberitaan. Padahal dalam media tidak ada agama, karena keberadaannya bersifat universal. Keberpihakan media ini menyebabkan adanya konflik dimana orang Kristiani maupun Islam yang merasa terdiskriminasi.

Dalam Q.S Al-`Ankabūt:15 - Maka Kami selamatkan Nuh dan penumpang-penumpang bahtera itu dan Kami jadikan peristiwa itu pelajaran bagi semua umat manusia. Membaca ayat ini, kita bisa pula membaca sejarah Nabi Nuh yang menjadi jurnalis atau penyampai kabar pada umatnya, akan terjadinya suatu bencana. Beliau mengimbau, agar umatnya naik ke atas perahu yang telah dibuatnya, dengan itu mereka bisa selamat dari bencana. Bukankah ini suatu pelajaran yang perlu diketahui orang yang berprofesi sebagai jurnalis, dimana tugasnya bukan hanya mengabarkan ketika suatu peristiwa telah terjadi, namun ia harus memberitakan bahwa suatu bencana akan terjadi.

Media di Indonesia banyak menuai kritikan terutama dalam hal peliputan dan pemberitaan bencana. Bad news is good news, kalimat yang banyak dijadikan prinsip bagi kalangan wartawan, baik dari media cetak, elektronik, maupun media online. Tidak bisa dipungkiri hal ini, media yang menjadi sumber informasi masyarakat luas kadang tidak memerhatikan efek dari informasi tersebut. Banyak berita duka atau kabar buruk yang dijadikan headline dan berita utama media, misalnya saja tsunami di Aceh tahun 2004, Lumpur Lapindo 2006, jatuhnya pesawat AirAsia QZ850 di tahun 2014, dan di tahun 2015 peristiwa duka di Makkah, Madinah, bencana asap Riau, aksi bom bunuh diri di Paris Prancis, dan yang pastinya di musim penghujan ini media akan diisi dengan berita banjir dan longsor, yang dijadikan sebuah berita yang sangat menarik untuk dipublish dan menjadi keuntungan besar bagi wartawan dan media dalam perburuannya mencari informasi.

Terjadinya suatu bencana merupakan berita buruk sebagian kalangan, namun terkecuali bagi media yang menganggapnya ini merupakan hal yang penting dan menarik untuk diberitakan. Ada kesulitan tersendiri menjadi seorang jurnalis yang beridealisme, sebab Ia tak bisa lepas dari industri media tempatnya bekerja. Dalam buku Ekonomi Politik Media Penyiaran karya Agus Sudibyo. Menilik media masa kini yang benar-benar menunjukkan eksistensinya dimata publik. Bagaimana tidak, masyarakat kini hidupnya bergantung pada media, kebutuhannya terhadap suatu informasi yang baru akan didapatnya melalui media. Tak heran bila media massa sekarang menjadi jawara pada ranah publik. Kebutuhan masyarakat akan keberadaan media ini, muncul kepentingan-kepentingan yang "tidak murni". Artinya kepentingan yang tidak murni ini ialah adanya kepentingan ekonomi politik media. Dalam hal ini ketidakmurnian kepentingan dapat dilihat dari sisi kepemilikan media dan produksi media yang berorientasi pada market atau laba. Dalam konteks ini tak hanya mengejar material ekonomi saja, namun juga kepemilikan kekuasaan dan politik yang bermuara pada penundukan atau penaklukan penguasaan idealisme.

Pada saat pesawat AirAsia QZ850, media massa utamanya televisi, banyak dihujat karena menayangkan jazad korban yang tengah dievakuasi, bahkan media sosial dipenuhi komentar yang menuai kritikan tentang cara beberapa televisi yang dianggap melanggar etika. Bagaimana tidak, para wartawan televisi juga dianggap terlalu mengeksploitasi perasaan korban, serta melibatkan emosi keluarga korban. Menanyakan bagaimana perasaan di tinggal keluarga, bahkan bertanya tentang apa yang ingin di sampaikan pada kerabat yang berada dalam pesawat tersebut. Perlu kita berpikir tanpa ditanya pun semua sudah tahu bagaimana perasaan saat ditinggal keluarga, apalagi dengan cara yang tragis. Seharusnya yang harus di gali dahulu how and why sebuah peristiwa itu terjadi. Aktualisasi berita sangat memengaruhi eksistensi suatu media, berita yang lama akan mudah tertutupi dengan informasi baru.

Seperti halnya tragedi Mekah dan Madinah selang beberapa waktu, informasi itu tak lagi menarik diberitakan bagi kalangan pekerja media, padahal masyarakat masih menunggu kabar Mekah dan Madinah pasca tragedi itu, misal bagaimana penanganan korban selanjutnya, bagaimana proses rekontruksi dan rehabilitasi pasca bencana, hingga pencegahan bencana yang suatu saat akan terjadi lagi, selepas itu bagaimana peran pemerintah dan media dalam mengontrol atau mengawasi bencana susulan yang bisa saja terjadi, bencana dalam hal ini keadaan para korban dari segi psikologis dan mentalitas, pembagiaan sumbangan dan masih banyak lagi yang masih perlu untuk dikaji.

Lain halnya berita asap Riau yang dampak buruknya sangat banyak, lantas penanganannya seperti apa, belum tuntas berita itu disiarkan hingga solusi terbaiknya tiba-tiba tertutupi lagi dengan peristiwa teroris di Paris Perancis. Tak sedikit media yang seperti demikian, tak salah pula ketika Ahmad Arif mengatakan media bagaikan burung nazar yang mengintai kematian, menguliti habis korban dan mencari kematian baru. Mengapa demikian terjadi, sebab media selalu mengejar sensasi, bila bencana itu sudah tak dramatis lagi, maka media akan melupakannya, dan mencari berita baru yang menarik dimana media tersebut tak hanya menyedot perhatian publik tapi juga para pengusaha atau pengiklan. Sebab semakin dramatis bencana itu diberitakan maka rating suatu media akan naik dan pengiklan akan masuk, dan pendapatan media akan meningkat.

Dalam buku jurnalisme dasar  karya Luwi Ishwara. Salah satu prinsip yang harus dimiliki wartawan yaitu, harus mengemban tugas sebagai pemantau yang bebas terhadap  kekuasaan. Prinsip ini menekankan pentingnya peran penjaga watchdog. Sebagai wartawan, kita wajib melindungi kebebasan peran jaga ini dengan tidak merendahkannya, misal dengan menggunakannya secara sembarangan atau mengeploitasinya untuk keuntungan komersial. Tak dipungkuri akan hal ini sebab di zaman modernisasi sekarang ini media tak bisa lepas dari kata kapitalis. Dalam tulisan Ahmaf Arif di Harian kompas edisi minggu 8/2. Mengutip pernyataan sosiolog media John Macmanus dalam bukunya, Market Driven Journalism (1994), karena media telah terbelenggu dorongan logika komersial semata. Aspek dramatis dianggap lebih menjual, menaikkan rating, dan pada gilirannya dianggap akan mendatangkan iklan.

Kedepan media dituntut lebih berperan dalam pengurangan resiko bencana, dan Sekiranya media tidak hanya dituntut dalam pemberitaan suatu bencana ataupun peristiwa lainnya, justru media sebisa mungkin menjadi raferensi bagi semua pihak agar bencana itu bisa dikurangi atau dihindari dengan memberitakan solusi terbaik. Bukan hanya memuat berita berapa korban, tapi mencari solusi agar semua pihak tidak merasa punya beban berat dalam memikul beban akibat informasi yang dimuat media. Bukankah Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) bertugas melihat gejela-gejala alam yang terjadi di Bumi Nusantara ini. Hal Ini bisa menjadi referensi para wartawan dalam pemberitaannya mengenai gejala alam yang akan menjadi bencana alam, bukan mendatangi paranormal yang akan menafsirkan sesuatu yang belum tentu kebenarannya.

Faktanya media telah menjadi sumber informasi bagi semua kalangan, namun terkadang media yang demi mengejar rating tertinggi dan mencari sensasi akhirnya memilih mengekspos berita hoaks (belum terbukti .kebenarannya), yang lagi hangat-hangatnya diperbincangkan di sosial media. Lantas dengan cepat wartawan melahap habis informasi tersebut. Padahal kita tahu etika jurnalistik itu mewajibkan verifikasi dahulu baru mengekspos. Sekiranya para jurnalis perlu memerhatikan kode etik yang telah dilembar Negarakan, yaitu UU No. 40 tahun 1999. Aturan yang termaktub dalam undang-undang tersebut mewajibkan para wartawan untuk mematuhinya.

Merujuk pada kata salah seorang pekerja media, Maman Suherman notulen dalam acara Indonesia Lawak Klub (ILK) salah satu program TV nasional, mengatakan "Kecepatan tidak boleh mengalahkan atau melawan ketepatan," Ini merupakan jimat yang harus dimiliki para jurnalis. Kecepatan dan ketepatan harus bersatu padu demi keakuratan sebuah berita. Meski Ia merupakan orang media, tapi banyak bercerita mengenai dosa media yang dapat merugikan beberapa pihak. Jurnalis memiliki tujuh dosa media diantaranya

1. distorsi (memutar balikkan fakta) dimana informasi media pertelevisian tidak boleh memihak misal media A memihak yang ini, dan media B memihak yang itu. Jadi publik harus memihak kepada siapa sedang publiklah yang jadi frekuensi sebuah media.

2. Dramatisasi fakta palsu.

3. Mengaku privasi, jurnalis harus menyatakan identitasnya. Dengan ini sering terjadi pelanggaran yang fatal, yang mencampurkan antara of the record, not for atribution and embargo.

4. Menggunakan media untuk kampanye, padahal dalam p3sps ada larangan kampanye di media

5. pembunuhan karakter (diskriminasi org lain)

6. Eksploitasi seks mempengaruhi pikiran anak-anak, televisi memiliki waktu tayang yang harus diikuti berdasarkan aturan KPI. Untuk cerita dewasa tidak boleh tayang di jam family.

7. Penyalahgunaan kekuasaan, media digunakan untuk kepetingan politik. Dalam hal pembunuhan karakter terhadap lawan politiknya, Menjadikan orang sebagai pahlawan dan penjahat.

Adanya kepercayaan publik pada media dapat mendatangkan pemasang iklan yang dapat menghidupi perusahaan media dan wartawannya.  Jurnalisme bukan sekadar pekerjaan, melainkan sebuah jalan hidup di mana orang dituntut untuk selalu mencari gagasan baru. Jurnalis memiliki kewajiban yang lebih besar kepada audiences daripada tuntunan pasar. Jurnalis atau wartawan harus memosisikan diri bukan hanyaa sebagai penulis namun juga sebagai pembaca, pendengar, dan penonton. Media kritis di era masa kini harusnya menceritakan sesuatu yang lebih pantas. Juri paling adil, yang paling kuat adalah publik, kitalah yg harus memilih mana yg terbaik untuk diketahui, dilihat, dan didengar.

Penulis: Sri Yusnidar
Jurusan: Jurnalistik (V)
UIN Alauddin Makassar

1 komentar:

  1. Assalamu Alaikum wr-wb, perkenalkan nama saya ibu Rosnida zainab asal Kalimantan Timur, saya ingin mempublikasikan KISAH KESUKSESAN saya menjadi seorang PNS. saya ingin berbagi kesuksesan keseluruh pegawai honorer di instansi pemerintahan manapun, saya mengabdikan diri sebagai guru disebuah desa terpencil, dan disini daerah tempat mengajar hanya dialiri listrik tenaga surya, saya melakukan ini demi kepentingan anak murid saya yang ingin menggapai cita-cita, Sudah 9 tahun saya jadi tenaga honor belum diangkat jadi PNS Bahkan saya sudah 4 kali mengikuti ujian, dan membayar 70 jt namun hailnya nol uang pun tidak kembali bahkan saya sempat putus asah, pada suatu hari sekolah tempat saya mengajar mendapat tamu istimewa dari salah seorang pejabat tinggi dari kantor BKN pusat karena saya sendiri mendapat penghargaan pengawai honorer teladan, disinilah awal perkenalan saya dengan beliau, dan secara kebetulan beliau menitipkan nomor hp pribadinya 0853-1144-2258 atas nama Drs Tauchid SH.MSI beliaulah yang selama ini membantu perjalan karir saya menjadi PEGAWAI NEGERI SIPIL. alhamdulillah berkat bantuan bapak Drs Tauchid SH.MSI SK saya dan 2 teman saya sudah keluar, Wassalamu Alaikum Wr Wr

    BalasHapus